Selama ini, di sela rutinitas harian saya, selalu ada waktu dimana saya berjumpa dengan teman-teman, baik yang reguler walaupun yang kadang sudah tahunan tidak bertemu. Kami saling bertukar cerita, pengalaman dan tentunya gosip-gosip terbaru baik tentang lingkungan kami atau pun tentang kami sendiri. Tentunya topik yang paling hangat adalah percintaan, “Si Anu mau kawin ama si Inu.” atau “Gua sekarang lagi sama si Ini.”
Dan bergulirlah pembicaraan dengan lancar; rentetan pertanyaan, komentar-komentar, saling menunjukkan foto dan harapan-harapan. Sampai salah satu dari kami biasanya terdiam dan tiba-tiba bertanya dengan serius, “Kenapa loe suka sama dia?” –dengan berbagai varian tentunya-
Saya sering sekali mendapatkan pertanyaan itu. Entah dari pihak teman, keluarga dan tentunya dari pasangan saya sendiri. Biasanya kalau saya lagi malas berargumen, saya akan mencari jalan pintas dengan mengatakan, “Ya, dia orangnya baik, pinter, rajin menabung, etc., etc.” Tapi ada kalanya, apabila yang bertanya benar-benar terlihat serius, maka jawaban saya akan sangat singkat. Dua kata:
“Gak tahu…”
Di saat itulah biasanya si penanya akan membona dan merongrong saya dengan tuntutan detil yang lebih.
Tapi saya tetap keukeuh tidak akan menjawab lebih karena memang itulah yang saya rasakan. Tapi saya akan mengelaborasikan mengapa saya menjawab seperti itu.
Cinta adalah sesuatu yang sangat abstrak dalam hidup. Dia tidak punya rumusan karena dia adalah sebuah “angka” yang sudah absolut, bukan hasil dari perhitungan apa pun. Dia adalah sebuah rasa yang tiba-tiba ada, kadang dan bahkan seringkali, tanpa alasan yang jelas. Perasaan itu bisa muncul pada saat pandangan pertama, kencan kelima atau bahkan beberapa tahun kemudian setelah jumpa pertama.
Biasanya orang yang di hadapan saya hanya mengangguk-angguk, tersenyum simpul dan berkomentar, “Dasar hopeless romantic.” Dan saya pun meneruskan.
Cinta adalah antonim dari benci.
Bukan hanya dari sisi bahasa, namun juga dari sisi fonetik. Ketika kita mengucapkan “Cinta”, kita akan melepaskan akhiran “a” dengan sedikit helaan nafas, hampir seperti harapan yang menggantung di ujung lidah kita. Sebuah kata yang hampir tidak mungkin diteriakkan dengan kasar. Sebaliknya, kata “Benci” adalah kata yang terputus oleh akhiran “i”-nya. Kata yang sangat nyaman untuk dilontarkan dengan keras dan kita bisa menangkap perasaan negatif dibaliknya.
Begitu pula dengan sifatnya. Benci adalah sesuatu yang membutuhkan alasan karena kita tidak bisa –dan tidak boleh- membenci sesuatu atau seseorang tanpa sebab. Benci adalah sebuah akibat; “Gua benci pare karena pahitnya pol.” atau “Gua benci dia karena keteknya bau.” Meskipun kadang kita bisa merasakannya tanpa sebab, tapi kita selalu merasa salah karena kita sebenarnya tahu kalau benci memerlukan sebuah alasan, karena kalau tidak, hal itu menjadi salah atau minimal, tidak layak.
Cinta sebagai antonim sejati memiliki sifat yang berlawanan. Dia tidak butuh alasan sama sekali untuk menjadikannya nyata. Kita bisa melihat orang di sebuah mall dan tiba-tiba berkata dalam hati, “Duh, gua jatuh cinta sama dia.” Yah, meskipun itu agak aneh, tapi kejadian ini sering terjadi dan itu sah-sah saja.
Buat saya pribadi, cinta sejati tidak punya alasan. Dia akan menjalar dengan ganas di sekujur tubuh kita tanpa aba-aba dan bersarang di lubuk hati yang paling dalam. Itulah cinta yang seharusnya kita, sebagai manusia, bisa rasakan.
Karena cinta tidak mengenal sebab; dia adalah sesuatu yang mutlak.
Pada saat itu, siapa pun di hadapan saya akan terdiam lagi. Dan berkomentar,
“Dasar hopeless romantic…”
Dan bergulirlah pembicaraan dengan lancar; rentetan pertanyaan, komentar-komentar, saling menunjukkan foto dan harapan-harapan. Sampai salah satu dari kami biasanya terdiam dan tiba-tiba bertanya dengan serius, “Kenapa loe suka sama dia?” –dengan berbagai varian tentunya-
Saya sering sekali mendapatkan pertanyaan itu. Entah dari pihak teman, keluarga dan tentunya dari pasangan saya sendiri. Biasanya kalau saya lagi malas berargumen, saya akan mencari jalan pintas dengan mengatakan, “Ya, dia orangnya baik, pinter, rajin menabung, etc., etc.” Tapi ada kalanya, apabila yang bertanya benar-benar terlihat serius, maka jawaban saya akan sangat singkat. Dua kata:
“Gak tahu…”
Di saat itulah biasanya si penanya akan membona dan merongrong saya dengan tuntutan detil yang lebih.
Tapi saya tetap keukeuh tidak akan menjawab lebih karena memang itulah yang saya rasakan. Tapi saya akan mengelaborasikan mengapa saya menjawab seperti itu.
Cinta adalah sesuatu yang sangat abstrak dalam hidup. Dia tidak punya rumusan karena dia adalah sebuah “angka” yang sudah absolut, bukan hasil dari perhitungan apa pun. Dia adalah sebuah rasa yang tiba-tiba ada, kadang dan bahkan seringkali, tanpa alasan yang jelas. Perasaan itu bisa muncul pada saat pandangan pertama, kencan kelima atau bahkan beberapa tahun kemudian setelah jumpa pertama.
Biasanya orang yang di hadapan saya hanya mengangguk-angguk, tersenyum simpul dan berkomentar, “Dasar hopeless romantic.” Dan saya pun meneruskan.
Cinta adalah antonim dari benci.
Bukan hanya dari sisi bahasa, namun juga dari sisi fonetik. Ketika kita mengucapkan “Cinta”, kita akan melepaskan akhiran “a” dengan sedikit helaan nafas, hampir seperti harapan yang menggantung di ujung lidah kita. Sebuah kata yang hampir tidak mungkin diteriakkan dengan kasar. Sebaliknya, kata “Benci” adalah kata yang terputus oleh akhiran “i”-nya. Kata yang sangat nyaman untuk dilontarkan dengan keras dan kita bisa menangkap perasaan negatif dibaliknya.
Begitu pula dengan sifatnya. Benci adalah sesuatu yang membutuhkan alasan karena kita tidak bisa –dan tidak boleh- membenci sesuatu atau seseorang tanpa sebab. Benci adalah sebuah akibat; “Gua benci pare karena pahitnya pol.” atau “Gua benci dia karena keteknya bau.” Meskipun kadang kita bisa merasakannya tanpa sebab, tapi kita selalu merasa salah karena kita sebenarnya tahu kalau benci memerlukan sebuah alasan, karena kalau tidak, hal itu menjadi salah atau minimal, tidak layak.
Cinta sebagai antonim sejati memiliki sifat yang berlawanan. Dia tidak butuh alasan sama sekali untuk menjadikannya nyata. Kita bisa melihat orang di sebuah mall dan tiba-tiba berkata dalam hati, “Duh, gua jatuh cinta sama dia.” Yah, meskipun itu agak aneh, tapi kejadian ini sering terjadi dan itu sah-sah saja.
Buat saya pribadi, cinta sejati tidak punya alasan. Dia akan menjalar dengan ganas di sekujur tubuh kita tanpa aba-aba dan bersarang di lubuk hati yang paling dalam. Itulah cinta yang seharusnya kita, sebagai manusia, bisa rasakan.
Karena cinta tidak mengenal sebab; dia adalah sesuatu yang mutlak.
Pada saat itu, siapa pun di hadapan saya akan terdiam lagi. Dan berkomentar,
“Dasar hopeless romantic…”
0 komentar:
Posting Komentar