Ibu saya selalu bilang, jangan mengambil sesuatu yang kamu temukan di jalan. Biarkan saja orang lain yang mengambilnya. Terang ibu, jika sesuatu itu diambil maka kelak saya akan mendapatkan tagihan berupa kerugian yang kadang besarnya berlipat-lipat kali dari yang saya dapatkan itu.. Begitulah, nasehat yang masih tetap terngiang jika dijalan saya kebetulan melihat sesuatu.
Otak kritis saya ingin menepis nasehat tersebut. Apa salahnya diambil? Pemiliknya jelas tak tahu dan perkara itu tak bisa dituduhkan sebagai tindak pencurian karena barang tersebut tak bertuan. Lagi-lagi, saya ingin bersikap kritis. Jika tidak saya ambil, pastinya orang lain yang akan menemukan. Lalu apa bedanya jika kelak barang tersebut tak akan kembali ke pemiliknya? Saya atau orang lain yang mendapatkannya hanya masalah waktu dan keberuntungan saja. Diambilpun tak masalah. Mungkin ini jalan rezeki yang tuhan skenariokan.
Dan suatu ketika momen tersebut benar-benar datang. Uang lima ribuan tersamar di rerumputan pinggir jalan. Lumayan, bisa untuk tambah uang jajan di kantin. Yang penting tak usah bercerita kepada ibu, tentu perkara ini tak akan menuai kritikan. Sambil tersenyum penuh dengan kelegaan, uang tersebut mejeng di saku baju.
Tak ada rasa apa-apa. Tak terdetik dosa atau penyesalan seperti yang dikatakan ibu. Berarti saya tidak sedang melakukan kesalahan. Saya juga tak ingin berperasangka lebih buruk jika uang tersebut adalah uang setan. Jika diambil wajib menggantinya dengan uang kecil agar tak mendapatkan malapetaka dikemudian hari. Saya tak percaya itu, pasti ini hanya trik berbagi rejeki bagi penemu berikutnya.
Benar, semua berjalan normal tak masalah. Uang berubah jadi segelas es teh manis dan beberapa makanan pendamping. Semua masuk ke dalam mulut dan tidak menyebabkan sakit perut. Gambaran berlebih yang orang yakini sebagai sebuah karma tidak terjadi. Jika kita tidak percaya, pasti semua akan baik-baik saja. Jaman sudah demikian modern, kenapa harus berlaku klenik dan mistik begitu? Sekali lagi mohon maaf ibu, saya bukan ingin berbatah masalah ini. Saya hanya ingin berlaku realitis saja dalam menapaki kehidupan tanpa dibalut dengan prasangka. Cukuplah tidak berbuat jahat dan tetap prosedural maka semua akan berjalan seimbang.
Di tengah perjalanan pulang dari kampus laju motor saya seperti hilang keseimbangan. Motorpun terhenti, ban kempis! Ucapku panik. Untuk lebih yakinnya ban tetap saya pijit. Lokasi yang cukup Jauh dari tukang tambal ban memaksa saya harus memapahnya hingga keringat bercucuran. Sapaan klakson dari teman berikut dengan asapnya membuat lengkaplah derita ini. Haus!. Untunglah… akhirnya menemukan tukang tambal ban. Menantinya hingga belasan menit.
“Berapa Pak?” tanyaku. Sambil membetulkan posisi motorku tukang tambal ban itu pun menjawab. “ tujuh ribu aja DIk..”
Saya tak ingin menghakimi. Entahlah siapa yang benar. Nasehat ibu atau pikiran kritisku? Saya lebih menganggap uang lima ribu tadi adalah rejeki dari tuhan buatku menambah ongkos tambal ban. Berbeda mungkin dengan ibu saya jika tahu,”Untung cuma menemukan lima ribu…Nduk, “
0 komentar:
Posting Komentar